Skip to content

Search engine tanpa internet

Mungkin karena sudah demikian tertanam di benak, setiap kali kita mendengar ‘search engine’, langsung terbayang Google. Si Mbah satu itu memang luarbiasa. Algoritma pencariannya terbukti ampuh. Tapi mesin pencari bukan cuma Google. Dan bahkan tidak berarti harus internet.

Misalkan kita perlu mengakses sebuah file dan anggap saja kapasitas sistem yang sehari-hari kita pakai relatif besar (menggunakan beberapa hard disk, katakanlah). Yang jadi masalah: kita lupa nama file-nya, dan lupa pula di hard disk mana adanya. Lalu? Jelas ini bukan tipe kerjaan untuk si Mbah. Kesaktiannya tidak dimaksudkan untuk perkara seperti ini (Menggunakan fasilitas search dari Windows? Please, deh!). Tapi untunglah ada search engine yang mampu mengatasi tipikal problem seperti ini. Sebuah program mungil (<600 KB) dengan hasil instan. Dan gratis.

*****

Sebelum melanjutkan, ada  tiga hal yang perlu ditegaskan tentang search engine ini: 1) karena tanpa internet, berarti hanya untuk sistem lokal; 2) ini adalah ‘pelacak file‘ (termasuk folder/directory)—bukan ‘pemburu konten/data’; 3) khusus sistem NTFS.

Langsung saja..

Mas Slamet – simply unbelievable

Suatu malam, masa ketika t’Buko boleh dikata masih lebih sepi daripada kuburan, seseorang masuk. Celingukan, didapatinya di dalam rumah yang relatif besar itu cuma ada tiga orang: dua orang anak muda yang diketahuinya bekerja di situ, dan si pemilik tempat itu sendiri. Selebihnya meja-kursi kosong. Dengan agak salah tingkah, ia menegur. Kedua anak muda membalas, lalu melayaninya ngobrol-—dengan berdiri, karena memang selain sedikit mondar-mandir dan tengok sana-sini (sambil sesekali melirik ke arah si pemilik tempat yang tampak asyik sendiri dengan komputernya), orang yang baru masuk ini tak sekejap pun duduk. Tak lama, ia minta diri. Kedua anak muda dan si pemilik tempat tahu siapa orang tadi—tukang nasi goreng keliling yang lewat depan rumah (beberapa hari sebelumnya salah satu dari mereka sempat beli). Yang ketiganya belum tahu, mereka baru saja kedatangan orang yang nantinya akan menjadi ikon paling tidak dinyana di t’Buko. Kenalkan, Mas Slamet.

Nasi goreng…

Siaran Langsung

Tidak mudah menjelaskan arti warna merah ini. Tapi sekadar sebagai sebuah ancar-ancar, jika pembaca merasa konten blog ini banyak yang ganjil atau lebay, maka yang bertanda ‘red alert’ seperti ini mungkin akan lebih tidak karuan lagi. 🙂

Kalau di depan kita ada teman, kita pasti tahu. Kelihatan, soalnya. Kalau dengan mata tertutup? Bisa dengan kesenggol. Bahkan jika ia berada di ruang sebelah pun kita juga bisa tahu kalau di sana ada orang. Misalnya kalau si teman batuk.

Kalau ia pamit lalu pergi? Ia jadi tak kelihatan lagi, tentunya. Setidak-tidaknya untuk sementara waktu (kecuali kalau kepergiannya permanen). Apapun, tidak ada yang aneh di sini. Semuanya mudah dipahami.

Pemahaman atau persepsi kita banyak dipengaruhi oleh indra. Kita tahu ada sesuatu, karena sesuatu itu terindra (terlihat, terdengar, terasa, dst), seperti contoh si teman tadi. Toh pemahaman tentu saja tidak melulu dibangun oleh panca idra. Sekian hal lain seperti ingatan, perhatian (atau minat) dan pembelajaran jelas ikut menentukan. Dengan kata lain, persepsi kita berkembang.

Suatu persepsi tidak selamanya benar. Sering keliru, malah—karena satu atau lain sebab. Saat menonton sulap, misalnya. Sulap bisa dibilang adalah sebuah seni ilusi. Meski tak semua atraksi sulap berupa ilusi visual, tetapi pasti bermain di seputar ilusi atau ‘persepsi yang keliru’ (false perception)—melihat yang tidak ada dan sekaligus tidak melihat yang ada, katakanlah begitu.

Ilusi (illusion) tidak identik dengan ketidaknyataan (unreality). Misalnya game-online, di mana para gamers bisa berbagi petualangan dalam sebuah dunia khayal bersama, adalah sebuah dunia adiktif yang, meski imajinatif, tidak ilusif—karena memang tidak terjadi kekeliruan persepsi di sini. Jadi sesuatu yang tidak nyata memang tidak harus ilusif, sebaliknya sesuatu yang nyata tidak harus tidak ilusif (maaf kalau agak njlimet).

Tetap masuk kalau masih mau nekat…

Teman Setia

Memang susah, Yin

Kalo dari kecil, kita liatnya melulu orang kelahi

Bukan indahnya kasih sayang penyejuk hati

yang hembuskan tentram menggugah inspirasi

Tapi nada-nada tinggi tanpa simpati

yang ingin pihak lain tampak buruk tiap kali bunyi

Persis kaya di TV

He..he..

Terusin mbaca…

Mbuèn

Di masa embrio, saat kedai belum buka, di rumah yang kemudian menjadi t’Buko kadang ‘digelar’ nonton bareng (dengan jumlah ‘massa’ 2-3 orang). Salah satu film yang sempat diputar adalah The Shawshank Redemption karya Frank Darabont tahun 1994 yang berkisah tentang kehidupan orang-orang penjara. Dalam film tersebut ada mencuat satu kata yang lumayan menggelitik: institutionalized.

Pada satu adegan, tampak sejumlah narapidana asyik membicarakan rekan mereka yang akan segera bebas, Brooks—napi tua yang merupakan pesuruh sekaligus ‘raja’ perpustakaan penjara. Seorang napi, Red, berkata, adalah wajar jika Brooks takut menyongsong hari kebebasannya sendiri. Untuk mereka yang terlalu lama terkurung di dalam, gagasan hidup di luar bisa terdengar seperti sebuah ancaman. Alasannya sederhana: tembok penjara tak lagi terasa mengekang, tetapi justru melindungi. Jika sudah begitu—masih menurut Red, berarti yang bersangkutan sudah institutionalized.

*****

Ketika kedai sudah operasional, salah satu kultur yang terbentuk adalah kegairahan untuk membicarakan ‘apa saja’, termasuk istilah-istilah lokal (utamanya Semarang dan sekitarnya) yang sebagian mulai meredup karena ditinggalkan petuturnya sendiri. Salah sebuah kata yang pernah dibahas adalah mbuèn.

Mbuèn berarti ‘bui’ (penjara). Wong mbuèn berarti orang bui, dalam pengertian orang yang sedang menjalani masa hukuman (jadi segenap pegawai/aparat yang bekerja di sana tidak termasuk dalam pengertian ini—meski notabene sehari-hari mereka juga hidup ‘di penjara’). Dengan kata lain, mbuèn adalah sebuah ‘status hukum’.

Pengertian kata ini lalu berkembang. Mungkin karena orang yang baru bebas keluar penjara kadang terasa ‘beda sendiri’ saat kembali baur di luar, mereka yang dianggap sering berperilaku ‘berbeda’ dengan masyarakat pada umumnya pun akhirnya kadang diberi predikat mbuèn (terlepas dari apakah yang bersangkutan benar-benar pernah dipenjara atau tidak). Dalam pengertian ini, mbuèn adalah sebuah ‘model perilaku’.

pos_ShawshankRedemptionMoviePoster [imdb_com]Masih ada satu pengertian lagi, yaitu mbuèn sebagai sebuah ‘sikap mental’. Di sini mbuèn hadir dalam sosoknya yang paling mendasar—kengototan untuk tetap berada ‘di dalam’ yang berakar dari ketakutan untuk ‘keluar’ (meski jika harus). Biasa menjangkiti mereka yang terlalu lama hidup dalam penjara—baik secara fisik (di dalam bui) ataupun gagasan (penjara pikiran atau zona nyaman, misalnya). Jika sudah terlanjur terlalu fasih hidup dalam ‘dinamika statis’ yang praktis tanpa pilihan, kebebasan justru bisa menjadi momok yang menakutkan. Inilah orang-orang yang sudah demikian terdegradasi fleksibilitasnya. Yang sudah hilang percaya diri untuk membuat pilihan, saat menghadapi ketidakpastian. Yang takut berpunya harap. Yang mudah terintimidasi oleh [ide] kemerdekaan mereka sendiri. Untuk mereka yang sudah ‘terkondisikan’ seperti inilah kata institutionalized berlaku. Paling tidak, demikianlah yang ada dalam film The Shawshank Redemption.

t’Buko, sarang mbuèn…